Di era digital yang serba cepat, brand berlomba-lomba mencari cara agar kontennya tidak hanya dilihat, tapi juga dibicarakan. Salah satu strategi yang belakangan sering jadi sorotan adalah social experiment marketing. Dari konten lip tint “transfer test” hingga vending machine Coca-Cola yang kasih kejutan, eksperimen sosial ini sukses bikin orang berhenti scroll dan ikut berkomentar.

Tapi muncul pertanyaan: apakah ini hanya trik untuk viral sesaat, atau strategi branding yang benar-benar efektif?

Social Experiment Marketing: Apa dan Bagaimana Cara Kerjanya?

Social experiment marketing adalah pendekatan di mana brand merancang skenario tertentu yang melibatkan orang asli atau audiens secara langsung. Tujuannya sederhana: memicu reaksi emosional yang terasa nyata dan relatable.

Berbeda dengan iklan tradisional yang terasa scripted, social experiment membuat audiens merasa seperti bagian dari cerita. Hasilnya? Konten jadi lebih mudah dipercaya dan lebih sering dibagikan di media sosial.

Kenapa Social Experiment Bisa Jadi Magnet Engagement?

Ada beberapa alasan kenapa kampanye social experiment begitu efektif:

  1. Faktor kejutan (surprise element): penonton dibuat penasaran dengan hasil eksperimen.
  2. Faktor emosional: orang merasa ikut “terlibat” dalam cerita.
  3. Faktor keaslian: kesannya real dan jujur, meski ada yang settingan.
  4. Algoritma sosial media: konten yang memicu komentar dan share biasanya lebih mudah naik ke FYP atau timeline.

Dengan kata lain, social experiment bukan hanya menarik perhatian, tapi juga jadi mesin engagement organik.

Studi Kasus Viral Social Experiment Marketing

Social experiment marketing sering kali berhasil menarik perhatian publik karena menggabungkan unsur kejutan, rasa penasaran, dan keterlibatan emosi audiens. Di Indonesia, strategi ini sudah beberapa kali menciptakan konten viral yang memicu perbincangan luas di media sosial.

Salah satu brand lokal yang berhasil memanfaatkan social experiment marketing dengan cerdas adalah Cleviant, brand liptint Indonesia yang belakangan sering muncul di FYP TikTok. Cleviant dikenal konsisten menggunakan satu talent yang sudah menjadi semacam “wajah brand”-nya, sehingga audiens langsung familiar begitu kontennya muncul.

Salah satu konten yang paling mencuri perhatian berjudul “Rp2.000 atau Sulam Bibir”. Dalam video tersebut, talent Cleviant menantang orang-orang di jalan untuk memilih antara uang Rp2.000 atau sulam bibir. Akhirnya ada seorang perempuan yang tertarik mencoba liptint Cleviant. Setelah mengaplikasikan produk, ia langsung mengaku suka dengan warnanya yang natural.

Namun challenge tidak berhenti di situ. Talent kemudian bertanya, “Kalau ini bukan sulam bibir dan bisa dihapus, kamu akan dapat Rp1.000.000.” Si perempuan merasa nominalnya kurang menarik, hingga akhirnya ditawarkan hadiah Rp5.000.000. Dengan penuh semangat, ia mencoba menghapus stain liptint menggunakan micellar water. Hasilnya? Liptint tetap menempel sempurna. Perempuan itu pun terkejut dan bertanya, “Pakai apa sih kak?” Sang talent menjawab, “Cleviant Crystal Glazy Tint.”

Video ini kemudian viral dengan meraih 187 ribu likes di TikTok, sekaligus membuktikan bagaimana strategi social experiment marketing bisa meningkatkan engagement secara organik. Ada beberapa alasan kenapa konten ini berhasil:

  1. Autentik & natural → audiens merasa tidak sedang menonton iklan, melainkan sebuah percobaan nyata.
  2. Challenge yang relatable → reward Rp5 juta membuat orang penasaran dengan hasilnya.
  3. Membuktikan keunggulan produk secara langsung → daya tahan liptint terlihat jelas tanpa perlu klaim berlebihan.
  4. Hiburan + edukasi → konten tetap menghibur sambil mengedukasi tentang keunggulan produk.

Cleviant berhasil memadukan social experiment dengan challenge marketing, menjadikannya salah satu contoh brand lokal yang sukses menarik perhatian Gen Z. Strategi ini menunjukkan bahwa dengan ide kreatif, konten sederhana bisa menciptakan dampak besar di dunia digital.

Social Experiment Marketing : Antara Gimmick Sesaat atau Strategi Branding Jangka Panjang

Social experiment marketing memang terbukti bisa menjadi magnet engagement, tapi di balik potensinya ada resiko besar. Audiens digital saat ini semakin cerdas dan kritis, mereka bisa dengan mudah membedakan mana konten yang natural dan mana yang terasa “settingan”. Jika sebuah brand terlalu memaksakan skenario, alih-alih menambah trust, justru bisa menimbulkan rasa dibohongi dan merusak citra brand.

Namun, bukan berarti social experiment hanya sekadar trik viral sesaat. Justru di era digital yang serba cepat, strategi ini bisa menjadi alat branding jangka panjang asalkan dilakukan dengan prinsip transparansi, relevansi, dan insight yang kuat. Transparansi menjaga kepercayaan audiens, relevansi memastikan eksperimen sesuai dengan value brand, sementara insight membantu brand memahami perilaku audiens sehingga hasilnya terasa otentik dan relatable.

Menariknya, banyak social experiment viral lahir dari konsep sederhana, yaitu dari kamera dan situasi nyata. Meski terlihat low effort, dampaknya bisa high impact: jutaan views, liputan media, hingga memicu user generated content. Kuncinya : 

  1. Insight audiens yang kuat
  2. Skenario sederhana, tapi relatable
  3. Storytelling emosional
  4. Call-to-action jelas

Pada akhirnya, perbedaan antara trik sesaat dan strategi nyata terletak pada niat serta eksekusi. Jika hanya mengejar viralitas singkat, social experiment mudah jatuh menjadi gimmick murahan. Tapi bila digarap dengan insight mendalam dan tujuan membangun koneksi emosional, ia bisa menjadi strategi pemasaran yang efektif, berkelanjutan, dan memberi dampak jangka panjang bagi brand.